Bismillahir rahmaanir rahiim.
Bertahun-tahun silam pernah diadakan diskusi antara seorang Ustadz dari PP
Persis Bandung dengan Jalaluddin Rahmat (tokoh Syiah asal Bandung). Dalam
makalahnya, Ustadz Persis itu tanpa tedeng aling-aling membuat kajian
berjudul, “Syiah Bukan Bagian dari Islam”.
Ketika sessi dialog berlangsung, Ustadz Persis itu -dengan pertolongan
Allah- mampu mematahkan argumen-argumen Jalaluddin Rahmat. Kejadiannya mirip,
ketika dilakukan diskusi di Malang antara Jalaluddin Rahmat dengan
Ustadz-ustadz Persis Bangil; ketika merespon lahirnya buku Islam Aktual,
karya Jalaluddin Rahmat.
Ada satu momen penting menjelang akhir diskusi di Bandung itu. Saat itu
Jalaluddin mengatakan, “Kalau memang Syiah dianggap sesat dan bukan bagian
dari Islam, mengapa Pemerintah Saudi masih memperbolehkan kaum Syiah menunaikan
Haji ke Tanah Suci?”
Nah, atas pernyataan ini, tidak ada tanggapan serius dari para Ustadz di
atas.
Dan ternyata, kata-kata serupa itu dipakai oleh Prof. Dr. Umar Shibah,
tokoh Syiah yang menyusup ke lembaga MUI Pusat. Ketika kaum Syiah terdesak, dia
mengemukakan kalimat pembelaan yang sama. “Kalau Syiah dianggap sesat, mengapa
mereka masih boleh berhaji ke Tanah Suci?”
Lalu, bagaimana kalau pertanyaan di atas disampaikan kepada Anda-Anda semua
wahai, kaum Muslimin? Apa jawaban Anda? Apakah Anda akan memberikan jawaban
yang tepat, atau memilih menghindar?
Sekedar catatan, konon dalam sebuah diskusi antara Jalaluddin Rahmat dengan
Ustadz M. Thalib (sekarang Amir MMI). Saat disana ada kebuntuan argumentasi,
katanya Ustadz M. Thalib menantang Jalaluddin melakukan “diskusi secara fisik”
di luar. Ya, ini sekedar catatan, agar kita selalu mempersiapkan diri dengan
argumen-argumen yang handal sebelum “bersilat” pemahaman dengan orang beda
akidah.
Mengapa kaum Syiah masih boleh masuk ke Tanah Suci, baik Makkah Al
Mukarramah maupun Madinah Al Munawwarah?
Mari kita jawab pertanyaan ini:
Pertama, sebaik-baik jawaban ialah Wallahu a’lam. Hanya Allah yang Tahu
sebenar-benar alasan di balik kebijakan Pemerintah Saudi memberikan tempat bagi
kaum Syiah untuk ziarah ke Makkah dan Madinah.
Kedua, dalam sekte Syiah terdapat banyak golongan-golongan. Di antara mereka ada
yang lebih dekat ke golongan Ahlus Sunnah (yaitu Syiah Zaidiyyah), ada yang
moderat kesesatannya, dan ada yang ekstrim (seperti Imamiyyah dan Ismailiyyah).
Terhadap kaum Syiah ekstrim ini, rata-rata para ulama tidak mengakui keislaman
mereka. Nah, dalam praktiknya, tidak mudah membedakan kelompok-kelompok tadi.
Ketiga, usia sekte Syiah sudah sangat tua. Hampir setua usia sejarah Islam itu
sendiri. Tentu cara menghadapi sekte seperti ini berbeda dengan cara menghadapi
Ahmadiyyah, aliran Lia Eden, dll. yang termasuk sekte-sekte baru. Bahkan Syiah
sudah mempunyai sejarah sendiri, sebelum kekuasaan negeri Saudi dikuasai
Dinasti Saud yang berpaham Salafiyyah. Jauh-jauh hari sebelum Dinasti Ibnu Saud
berdiri, kaum Syiah sudah masuk Makkah-Madinah. Ibnu Hajar Al Haitsami penyusun
kitab As Shawaiq Al Muhriqah, beliau menulis kitab itu dalam rangka
memperingatkan bahaya sekte Syiah yang di masanya banyak muncul di Kota Makkah.
Padahal kitab ini termasuk kitab turats klasik, sudah ada jauh sebelum era
Dinasti Saud.
Keempat, kalau melihat identitas kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, ya
rata-rata tertulis “agama Islam”. Negara Iran saja mengklaim sebagai Jumhuriyyah
Al Islamiyyah (Republik Islam). Revolusi mereka disebut Revolusi Islam
(Al Tsaurah Al Islamiyyah). Data seperti ini tentu sangat menyulitkan untuk
memastikan jenis sekte mereka. Lha wong, semuanya disebut “Islam” atau
“Muslim”.
Kelima, kebanyakan kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, mereka orang
awam. Artinya, kesyiahan mereka umumnya hanya ikut-ikutan, karena tradisi, atau
karena desakan lingkungan. Orang seperti ini berbeda dengan tokoh-tokoh Syiah
ekstrem yang memang sudah dianggap murtad dari jalan Islam. Tanda kalau mereka
orang awam yaitu kemauan mereka untuk datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah itu
sendiri. Kalau mereka Syiah ekstrim, tak akan mau datang ke Tanah Suci Ahlus
Sunnah. Mereka sudah punya “tanah suci” sendiri yaitu: Karbala’, Najaf, dan
Qum. Perlakuan terhadap kaum Syiah awam tentu harus berbeda dengan perlakuan
kepada kalangan ekstrim mereka.
Keenam, orang-orang Syiah yang datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah sangat
diharapkan akan mengambil banyak-banyak pelajaran dari kehidupan kaum Muslimin
di Makkah-Madinah. Bila mereka tertarik, terkesan, atau bahkan terpikat;
mudah-mudahan mau bertaubat dari agamanya, dan kembali ke jalan lurus, agama
Islam Ahlus Sunnah.
Ketujuh, hadirnya ribuan kaum Syiah di Tanah Suci Makkah-Madinah, hal tersebut
adalah BUKTI BESAR betapa ajaran Islam (Ahlus Sunnah) sesuai dengan fitrah
manusia. Meskipun para ulama dan kaum penyesat Syiah sudah bekerja keras sejak
ribuan tahun lalu, untuk membuat-buat agama baru yang berbeda dengan ajaran
Islam Ahlus Sunnah; tetap saja fitrah mereka tidak bisa dipungkiri, bahwa
hati-hati mereka terikat dengan Tanah Suci kaum Muslimin (Makkah-Madinah),
bukan Karbala, Najaf, dan Qum.
Kedelapan, kaum Syiah di negerinya sangat biasa memuja kubur, menyembah kubur, tawaf
mengelilingi kuburan, meminta tolong kepada ahli kubur, berkorban untuk
penghuni kubur, dll. Kalau mereka datang ke Makkah-Madinah, maka praktik
“ibadah kubur” itu tidak ada disana. Harapannya, mereka bisa belajar untuk
meninggalkan ibadah kubur, kalau nanti mereka sudah kembali ke negerinya. Insya
Allah.
Kesembilan, pertanyaan di atas sebenarnya lebih layak diajukan ke kaum Syiah sendiri,
bukan ke Ahlus Sunnah. Mestinya kaum Syiah jangan bertanya, “Mengapa orang
Syiah masih boleh ke Makkah-Madinah?” Mestinya pertanyaan ini diubah dan
diajukan ke diri mereka sendiri, “Kalau Anda benar-benar Syiah, mengapa masih
datang ke Makkah dan Madinah? Bukankah Anda sudah mempunyai ‘kota suci’
sendiri?”
Demikian sebagian jawaban yang bisa diberikan. Semoga bermanfaat. Pesan
spesial dari saya, kalau nanti Prof. Dr. Umar Shihab, atau Prof. Dr. Quraish
Shihab (dua tokoh ini saudara kandung, kakak-beradik; bersaudara juga dengan
Alwi Shihab, Mantan Menlu di era Abdurrahman Wahid), beralasan dengan alasan
tersebut di atas; mohon ada yang meluruskannya. Supaya beliau tidak banyak
membuang-buang kalam, tanpa guna.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
http://www.fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar